Kesetaraan Jender Perspektif Al-qur'an.

January 06, 2017




IQBAL -  Kesetaraan Jender Perspektif Al-qur'an.

BAB I
Pendahuluan

Isu tentang jender telah menjadi bahasan analisis sosial, menjadi pokok bahasan dalam wacana perdebatan mengenai perubahan sosial dan juga menjadi topik utama dalam perbincangan mengenai pembangunan dan perubahan sosial. Bahkan, beberapa waktu terakhir ini, berbagai tulisan, baik di media massa maupun buku-buku, seminar, diskusi dan sebagainya banyak membahas tentang protes dan gugatan yang terkait dengan ketidakadilan dan diskriminasi terhadap kaum perempuan. Ketidakadilan dan diskriminasi itu terjadi hampir di semua bidang, mulai dari tingkat internasional, negara, keagamaan, budaya, ekonomi, bahkan sampai tingkatan rumah tangga.


jender dipersoalkan karena secara sosial telah melahirkan perbedaan peran, tanggung jawab, hak dan fungsi serta ruang aktivitas laki-laki dan perempuan dalam masyarakat. Perbedaan tersebut akhirnya membuat masyarakat cenderung diskriminatif dan pilih-pilih perlakuan akan akses, partisipasi, serta kontrol dalam hasil pembangunan laki-laki dan perempuan.


Dari penyiapan pakaian pun kita sudah dibedakan sejak kita masih bayi. Juga dalam hal mainan, anak laki-laki misalnya: dia akan diberi mainan mobil-mobilan, kapal-kapalan, pistol-pistolan, bola dan lain sebagainya. Dan anak perempuan diberi mainan boneka, alat memasak, dan sebagainya. Ketika menginjak usia remaja perlakuan diskriminatif lebih ditekankan pada penampilan fisik, aksesoris, dan aktivitas. Dalam pilihan warna dan motif baju juga ada semacam diskriminasi. Warna pink dan motif bunga-bunga misalnya hanya “halal” dipakai oleh remaja putri. Aspek behavioral lebih banyak menjadi sorotan diskriminasi. Seorang laki-laki lazimnya harus mahir dalam olah raga, keterampilan teknik, elektronika, dan sebagainya. Sebaliknya perempuan harus bisa memasak, menjahit, dan mengetik misalnya. Bahkan dalam olahraga pun tampak hal-hal yang mengalami diskriminasi tersendiri. Hingga sampai pada dewasa ini Perbedaan laki-laki dan perempuan masih menyimpan beberapa masalah, baik dari segi substansi kejadian maupun peran yang diemban dalam masyarakat. Perbedaan anatomi biologis antara keduanya cukup jelas. Akan tetapi efek yang timbul akibat perbedaan itu menimbulkan perdebatan, karena ternyata perbedaan jenis kelamin secara biologis (seks) melahirkan seperangkat konsep budaya, Interpretasi budaya terhadap perbedaan jenis kelamin inilah yang disebut gender.


                                                                  Bab II
Pembahasan
A.    Pengertian Jender
Kata “jender” berasal dari bahasa inggris, gender, berarti “jenis kelamin”.[1]  Dalam Webster’s New World Dictionary, jender diartikan sebagai “perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan dilihat dari segi nilai dan tingkah laku”.
Di dalam Women’s Studies Encyclopedia dijelaskan bahwa jender adalah suatu konsep kultural yang berupaya membuat perbedaan (dintinction) dalam hal peran, prilaku, mentalitas, dan karakteristik, emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat`[2]
Hillary M. Lips dalam bukunya yang terkenal Sex & Gender : an Introduction mengartikan jender sebagai harapan-harapan budaya terhadap laki-laki dan perempuan (cultural expections for women and men). Pendapat ini sejalan dengan pendapat umumnya kaum feminis seperti Linda L. Lindsey, yang menganggap semua ketetapan masyarakat perihal penentuan seseorang sebagai laki-laki atau perempuan adalah termasuk bidang kajian jender (What a given society defines and masculine or feminin is a component of gender)
H.T wilson dalam Sex and Gender mengartikan jender sebagai suatu dasar untuk menentukan sumbangan antara laki-laki dan perempuan pada kebudayaan dan kehidupan kolektif yang sebagai akibatnya mereka menjadi laki-laki dan perempuan. Elaine Showalter mengartikan jender lebih dari sekedar perbedaan laki-laki dan perempuan dilihat dari kontruksi sosial-budaya. Ia menekankan sebagai konsep analisis (an analityc concept) yang dapat digunakan untuk menjelaskan sesuatu.
Meskipun kata gender belum masuk dalam perbendaharaan kamus Besar Bahasa Indonesia, istilah sudah lazim digunakan , khususnya di Kantor Menteri Negara Urusan Peranan Wanita dan ejaan “jender”. Jender diartikan sebagai “interpretasi mental dan kultural terhadap perbedaan kelamin yakni laki-laki dan perempuan. Jender biasanya dipergunakan untuk menunjukkan pembagian kerja yang dianggap tepat bagi laki-laki dan perempuan.
Dari berbagai definisi di atas dapat disimpulkan bahwa jender adalah suatu konsep yang digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dilihat dari segi sosial-budaya. Jender dalam arti ini mendefinisikan laki-laki dan perempuan dari sudut non biologis.
Setelah kita telaahi beberapa ungkapan para tokoh terkait Jender. Dapat kita kerucutkan bahwa jender adalah suatu konsep yang menyebabkan perbedaan dan perselisihan antara kedua jenis kelamin laki-laki dan perempuan sekaligus menjadi tunas munculnya kata ketidakadilan dan diskriminasi. Lantas bagaimana pandangan al-Qur’an terhadap jender?? bagaimana al-Qur’an memberi pemahaman mengenai jender ?? dan apa sajakah bentuk kesetaraan yang disampaikan oleh al-Qur’an terkait hubungan kedua jenis kelamin, laki-laki dan perempuan??


B.  Kesetaraan Jender Dalam Al-Qur’an
Al Qur’an secara umum dan dalam banyak ayatnya telah membicarakan relasi Jender, Bahkan tidak hanya soal kesetaraan jender, hubungan laki-laki dan perempuan dalam masyarakat, tetapi lebih dari itu, al-Qur’an juga mengatur keserasian pola relasi antara mikrokosmos (manusia) makrokosmos (alam), dan Tuhan. Al Qur’an yang diturunkan sebagai petunjuk manusia, tentunya pembicaraannya tidaklah terlalu jauh dengan keadaan dan kondisi lingkungan dan masyarakat pada waktu itu. Seperti apa yang disebutkan di dalam QS. Al- Nisa, yang memandang perempuan sebagai makhluk yang  mulia dan harus di hormati, yang pada satu waktu masyarakat Arab sangat tidak menghiraukan nasib mereka. Surat Al Nisa’ ini benar- benar memperhatikan kaum lemah, yang di wakili oleh anak- anak yatim, orang-orang yang lemah akalnya, dan kaum perempuan. Sebelum diturunkan surat Al- Nisa ini, telah turun dua surat yang sama-sama membicarakan wanita, yaitu surat Al-Mumtahanah dan surat Al-Ahzab. Namun pembahasannya belum final, hingga diturunkan surat al-Nisa’ ini. Oleh karenanya, surat ini disebut dengan surat Al-Nisa’ al-Kubro, sedang surat lain yang membicarakan perempuan juga , seperti surat al-Tholak, disebut surat al-Nisa’ al Sughro. Surat Al Nisa’ ini benar- benar memperhatikan kaum lemah, yang di wakili oleh anak- anak yatim, orang-orang yang lemah akalnya, dan kaum perempuan.
Maka, pada ayat pertama surat al-Nisa’ kita dapatkan, bahwa Allah telah menyamakan kedudukan laki-laki dan perempuan sebagai hamba dan makhluk Allah, yang masing- masing jika beramal sholeh, pasti akan di beri pahala sesuai dengan amalnya. Kedua-duanya tercipta dari jiwa yang satu  (nafsun wahidah), yang mengisyaratkan bahwa tidak ada perbedaan antara keduanya. Semuanya di bawah pengawasan Allah serta mempunyai kewajiban untuk bertaqwa kepada-Nya (ittaqu robbakum).
Ada beberapa variabel yang dapat digunakan sebagai standar dalam menganalisa kadar atau ukuran Kesetaraan Jender, antaranya yaitu :
1.      Laki-laki dan perempuan sama-sama sebagai hamba
Salah satu tujuan penciptaan manusia adalah untuk menyembah kepada tuhan, sebagaimana disebutkan dalam Q., s. Al-Zariyat/51: 56 :
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.
Dalam kapasitas manusia sebagai hamba, tidak ada perbedaan antara laiki-laki dan perempuan. Keduanya mempunyai potensi dan peluang yang sama untuk menjadi hamba ideal. Hamba ideal dalam al-Quran biasa diistilahkan dengan orang-orang yang bertaqwa (muttaqun), dan untuk mencapai derajat muttaqun ini tidak dikenal adanya perbedaan jenis kelamin, suku, bangsa, atau kelompok etnis tertentu. Al-Qur’an menegaskan bahwa hamba yang paling ideal ialah para muttaqun, sebagaimana disebutkan dalam Q., s al-Hujarat/49:13:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَىٰ وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا ۚ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ

Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kalian seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kalian saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa di antara kalian. Sesungguhnya Allah maha mengetahui lagi maha mengenal.
            Kekhususan-kekhususan yang diperuntukkan kepada laki-laki, seperti seorang suami setingkat lebih tinggi di atas isteri, laki-laki sebagai pelindung bagi perempuan, laki-laki memperoleh warisan lebih banyak daripada perempuan, kemudian laki-laki diperkenankan berpoligami bagi mereka yang memenuhi syarat. Akan tetapi ini semua tidak menyebabkan laki-laki menjadi hamba-hamba yang utama. Kelebihan tersebut diberikan kepada laki-laki dalam kapasitasnya sebagai anggota masyarakat yang memiliki peran publik dan sosial lebih ketika ayat-ayat al-Qur’an diturunkan.
Dalam kapasitas sebagai hamba, laki-laki dan perempuan masing-masing akan mendapatkan penghargaan dari tuhan sesuai dengan kadar pengabdiannya, sebagaimana disebutkan dalam Q,. S.  An-Nahlu/16:97 :

مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesuangguhnya akan kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.

2.      Laki-laki dan Perempuan Sebagai khalifah di Bumi
            Maksud dan tujuan penciptaan manusia di muka bumi ini adalah, di samping untuk menjadi hamba (‘abid) yang tunduk dan patuh serta mengabdi kepada Allah swt., juga untuk menjadi khalifah di bumi (khalifa fi al-ardl) kapasitas manusia sebagai khalifah di bumi ditegaskan di dalam Q,. S, al-An’am/6: 165 :

وَهُوَ الَّذِي جَعَلَكُمْ خَلَائِفَ الْأَرْضِ وَرَفَعَ بَعْضَكُمْ فَوْقَ بَعْضٍ دَرَجَاتٍ لِيَبْلُوَكُمْ فِي مَا آتَاكُمْ ۗ إِنَّ رَبَّكَ سَرِيعُ الْعِقَابِ وَإِنَّهُ لَغَفُورٌ رَحِيمٌ
Dan dialah yang menjadikan kalian penguasa-penguasa di bumi dan Dia meninggikan sebahagian kalian atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepada kalian. Sesungguhnya tuhan kalian amat cepat siksaan-Nya, dan sesungguhnya dia Maha Pengampun lagi Maha Penyanyang.

Dalam ayat lain disebutkan dalam Q,.s. al-Baqarah/2 : 30 :
وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً ۖ قَالُوا أَتَجْعَلُ فِيهَا مَنْ يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاءَ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ ۖ قَالَ إِنِّي أَعْلَمُ مَا لَا تَعْلَمُونَ
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat : “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi”. Mereka berkata : “Mengapa engkau hendak menjadikan (khalifah) di muka bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan  mensucikan Engkau? Tuhan berfirman : “Sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak kalian ketahui”
Kata Khalifah  dalam kedua ayat di atas tidak menunjukkan kepada salah satu jenis kelamin atau kelompok etnis tertentu. Laki-laki dan perempuan mempunyai fungsi yang sama sebagai khalifah, yang akan mempertanggung jawabkan kekhalifahannya di bumi, sebagai mana halnya mereka harus bertanggung jawab sebagai hamba tuhan.

3.      Laki-laki dan Perempuan Menerima Perjanjian Primordial
Laki-laki dan perempuan sama-sama mengemban amanah dan menerima perjanjian primordial dengan tuhan. Seperti diketahui, menjelang seorang anak manusia keluar dari rahim ibunya, ia terlebih dahulu harus menerima perjanjian dengan Tuhannya, sebagaimana disebutkan dalam Q., s. Al-A’raf/7:172 :
وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِنْ بَنِي آدَمَ مِنْ ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَى أَنْفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ قَالُوا بَلَى شَهِدْنَا أَنْ تَقُولُوا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هَذَا غَافِلِينَ 
Dan (ingatlah), ketika tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman) : “Bukankah aku ini tuhanmu?” Mereka menjawab : “Betul (Engkau Tuhan Kami)”, kami menjadi saksi”. (Kami lakukan yang “Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (Keesaan Tuhan)”
Menurut Fakhr al-Razi, tidak ada seorangpun anak manusia lahir dimuka bumi ini yang tidak berikrar akan Keberadaan Tuhan, dan ikrar mereka disaksikan oleh para malaikat. Tidak ada seorang pun yang mengatakan “tidak”.[3] Dalam islam, tanggung jawab individual dan kemandirian berlangsung sejak dini, yaitu semenjak dalam kandungan. Sejak awal sejarah manusia dalam islam tidak dikenal adanya diskriminasi jenis kelamin. Laki-laki dan perempuan sama-sama menyatakan ikrar ketuhanan yang sama.
Kemudian Allah SWT pula telah memuliakan seluruh Acak Cucu Adam tersebut, laki-laki dan perempuan, sebagaimana dijelaskan dalam Q,. s. Al-Isra’/17:70 :

وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِي آدَمَ وَحَمَلْنَاهُمْ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَرَزَقْنَاهُمْ مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَفَضَّلْنَاهُمْ عَلَىٰ كَثِيرٍ مِمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيلًا
Dan sesungguhnya telah kami muliakan anak-anak adam, kami angkut mereka di daratan dan lautan, kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah kami ciptakan.
Kata بَنِي آدَمَ dalam ayat ini menunjukkan kepada seluruh anak-anak Adam, tanpa membedakan jenis kelamin, suku bangsa, dan warna kulit. Dalam al-Qur’an tidak pernah ditemukan satu ayat pun yang menunjukkan keutamaan seseorang karena faktor jenis kelamin atau karena keturunan suku bangsa tertentu. Kemandirian dan otonomi perempuan dalam tradisi islam sejak awal islam terlihat  begitu kuat. Perjanjian, bai’at, sumpah, dan nazar yang dilakukan oleh perempuan mengikat dengan sendirinya sebagaimana halnya laki-laki. Dalam tradisi Yahudi-Kristen, seorang perempuan hidup di dalam pangkuan Ayah, maka perjanjian, sumpah, dan nazarnya dapat digugurkan oleh ayah yang bersangkutan, sebagiamana disebutkan dalam kitab Bilangan 30:5:
Tetapi jika Ayahnya melarang dia (anak perempuan) pada waktu mendengar itu (nazar dan janji perempuan kepada Tuhan) maka segala nazar dan janji yang mengikat diri anaknya itu tidak akan berlaku; dan Tuhan akan mengampuni perempuan itu, sebab ayahnya telah melarangnya.
Sebaliknya jika seorang perempuan hidup di dalam pangkuan suaminya, maka perjanjian, sumpah, dan nazar seorang perempuan dapat digugurkan oleh suami, sebagaimana disebutkan di dalam Kitab Bilangan 30:8:
Tetapi apabila suaminya itu, pada waktu mendengarnya, melarang dia (isterinya), maka ia telah membatalkan nazar yang telah menjadi hutang isterinya dan janji yang diucapkan begitu saja dan yang mengikat isterinya.
Di dalam tradisi islam, perempuan mukallaf dapat melakukan berbagai perjanjian, sumpah, nazar, baik kepada sesama manusia maupun kepada Tuhan. Tidak ada suatu kekuatan yang dapat menggugurkan janji, sumpah, atau mereka sebagaimana sitegaskan dalam Q., s. al-Maidah/5:89:
لَا يُؤَاخِذُكُمُ اللَّهُ بِاللَّغْوِ فِي أَيْمَانِكُمْ وَلَٰكِنْ يُؤَاخِذُكُمْ بِمَا عَقَّدْتُمُ الْأَيْمَانَ ۖ فَكَفَّارَتُهُ إِطْعَامُ عَشَرَةِ مَسَاكِينَ مِنْ أَوْسَطِ مَا تُطْعِمُونَ أَهْلِيكُمْ أَوْ كِسْوَتُهُمْ أَوْ تَحْرِيرُ رَقَبَةٍ ۖ فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ ۚ ذَٰلِكَ كَفَّارَةُ أَيْمَانِكُمْ إِذَا حَلَفْتُمْ ۚ وَاحْفَظُوا أَيْمَانَكُمْ ۚ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ آيَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
Allah tidak menghukum kalian disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kalian disebabkan sumpah-sumpah yang kalian sengaja, maka kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kalian berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak. Barangsiapa yang tidak sanggup melakukan  yang demikian, maka kaffaratnya puasa selama tiga hari. Yang demikian itu adalah kaffarat sumpah-sumpahmu bila kalian bersumpah (dan menerangkan kepadamu hukum-hukum-nya agar kalian bersyukur (kepada-Nya).
            Pernayataan ayat ini jelas sekali berbeda dengan pernyataan alkitab yang mengisyaratkan subordinasi perempuan dari laki-laki, yakni anak perempuan dalam subordinasi dari ayahnya dan isteri subordinasi dari suaminya. Dalam tradisi islam, ayah dan suami juga mempunyai otoritas khusus tetapi tidak sampai mencampuri urusan komitmen  pribadi seorang perempuan denganTuhannya. Bahkan dalam urusan-urusan keduniaan pun perempuan memperoleh hak-hak sebagaimana halnya yang diperoleh oleh laki-laki. Dalam suatu hadits Nabi Muhammad SAW di datangi oleh sekelompok perempuan untuk menyatakan dukungan politik (bai’ah), maka peristiwa langka ini menyebabkan turunnya Q,, s. al-Mumtahanah/60:12:

4.      Adam dan Hawa Terlibat secara Aktif dalam Drama Kosmis
Semua ayat yang meceritakan tentng drama kosmis, yakni cerita teandang keadaan Adam dan pasangannya di surga sampai keluar ke bumi, selalu menekankan kedua belah pihak secara aktif dengan menggunakan kata ganti untuk dua orang (  هما), yakni kata ganti untuk Adam dan hawa, Seperti dapat dapat dilihat dalam beberapa kasus berikut :
a.       Keduanya diciptakan di surga dan memanfaatkan fasilitas surga disebutkan dalam Q., s. al-Baqarah/2:35:

وقُلْنَا يَا آدَمُ اسْكُنْ أَنْتَ وَزَوْجُكَ الْجَنَّةَ وَكُلا مِنْهَا رَغَداً حَيْثُ شِئْتُمَا وَلا تَقْرَبَا هَذِهِ الشَّجَرَةَ فَتَكُونَا مِنَ الظَّالِمِينَ
Dan kami berfirman :”Hai adam diamilah oleh kamu dan isterimu surga ini, dan makanlah makanan-makanannya yang banyak lagi baik di mana saja yang kamu sukai, dan janganlah kamu dekati pohon ini, yang menyebabkan kamu termasuk orang-orang yang zalim.
b.        Keduanya mendapat kualiatas godaanyang sama dari syaitan disebutkan dalam Q,. S. al’A’raf/7:20:
فَوَسْوَسَ لَهُمَا الشَّيْطَانُ لِيُبْدِيَ لَهُمَا مَا وُورِيَ عَنْهُمَا مِنْ سَوْآتِهِمَا وَقَالَ مَا نَهَاكُمَا رَبُّكُمَا عَنْ هَٰذِهِ الشَّجَرَةِ إِلَّا أَنْ تَكُونَا مَلَكَيْنِ أَوْ تَكُونَا مِنَ الْخَالِدِين
Maka syaitan membisikkan pikiran jahat kepada keduanya untuk menampakkan kepada keduanya apa yang tertutup dari mereka yaitu auratnya dan syaitan berkata: "Tuhan kamu tidak melarangmu dan mendekati pohon ini, melainkan supaya kamu berdua tidak menjadi malaikat atau tidak menjadi orang-orang yang kekal (dalam surga)".
c.        Sama-sama memakan buah khuldi dan keduanya menerima akibat jatuh ke bumi, disebutkan di dalam Q,. S. al-A’raf/7:22:
فَدَلاهُمَا بِغُرُورٍ فَلَمَّا ذَاقَا الشَّجَرَةَ بَدَتْ لَهُمَا سَوْآتُهُمَا وَطَفِقَا يَخْصِفَانِ عَلَيْهِمَا مِنْ وَرَقِ الْجَنَّةِ وَنَادَاهُمَا رَبُّهُمَا أَلَمْ أَنْهَكُمَا عَنْ تِلْكُمَا الشَّجَرَةِ وَأَقُلْ لَكُمَا إِنَّ الشَّيْطَانَ لَكُمَا عَدُوٌّ مُبِينٌ 
maka setan membujuk keduanya (untuk memakan buah itu) dengan tipu daya. Tatkala keduanya telah merasai buah kayu itu, nampaklah bagi keduanya aurat-auratnya, dan mulailah keduanya menutupinya dengan daun-daun surga. Kemudian Tuhan mereka menyeru mereka: "Bukankah Aku telah melarang kamu berdua dari pohon kayu itu dan Aku katakan kepadamu: "Sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagi kamu berdua?"
d.      Sama-sama memohon ampun dan sama-sama diampuni Tuhan, disebutkan dalam Q,. s. al-A’raf/7:23:
قَالَا رَبَّنَا ظَلَمْنَا أَنْفُسَنَا وَإِنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ
Keduanya berkata: "Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi.
e.       Setelah di bumi keduanya mengembangkan keturunan dan saling melengkapi dan saling membutuhkan, disebutkan dalam Q,. s. al-Baqarah/2:187:
أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَىٰ نِسَائِكُمْ ۚ هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ ۗ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُونَ أَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ ۖ فَالْآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ ۚ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ۖ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ ۚ وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ ۗ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلَا تَقْرَبُوهَا ۗ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ
Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri'tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.
5.      Laki-laki dan Perempuan Berpotensi Meraih Prestasi
Peluang untuk meraih prestasi maksimum tidak ada perbedaan antara antara laki-laki dan perempuan, ditegaskan secara khusus di dalam tiga ayat, yaitu:
a.       Q,. s. Ali Imran/3:195:
فَاسْتَجَابَ لَهُمْ رَبُّهُمْ أَنِّي لَا أُضِيعُ عَمَلَ عَامِلٍ مِنْكُمْ مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَىٰ ۖ بَعْضُكُمْ مِنْ بَعْضٍ ۖ فَالَّذِينَ هَاجَرُوا وَأُخْرِجُوا مِنْ دِيَارِهِمْ وَأُوذُوا فِي سَبِيلِي وَقَاتَلُوا وَقُتِلُوا لَأُكَفِّرَنَّ عَنْهُمْ سَيِّئَاتِهِمْ وَلَأُدْخِلَنَّهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ ثَوَابًا مِنْ عِنْدِ اللَّهِ ۗ وَاللَّهُ عِنْدَهُ حُسْنُ الثَّوَابِ
mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman): "Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki atau perempuan, (karena) sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain. Maka orang-orang yang berhijrah, yang diusir dari kampung halamannya, yang disakiti pada jalan-Ku, yang berperang dan yang dibunuh, pastilah akan Ku-hapuskan kesalahan-kesalahan mereka dan pastilah Aku masukkan mereka ke dalam surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya, sebagai pahala di sisi Allah. Dan Allah pada sisi-Nya pahala yang baik".
b.      Q,. s. al-Nisa’/4:124:
وَمَنْ يَعْمَلْ مِنَ الصَّالِحَاتِ مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَىٰ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَأُولَٰئِكَ يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ وَلَا يُظْلَمُونَ نَقِيرًا
Barangsiapa yang mengerjakan amal-amal saleh, baik laki-laki maupun wanita sedang ia orang yang beriman, maka mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya walau sedikitpun[4]

c.       Q,. s. an-Nahlu/16:97:

مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَىٰ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً ۖ وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.
Ayat-ayat di atas mengisyaratkan konsep kesetaraan jender yang ideal yang memberikan ketegasan bahwa prestasi individual, baik dalam bidang spiritual maupun urusan karier profesional, tidak mesti dimonopoli oleh salah satu jenis kelamin. Laki-laki ddan perempuan memperoleh kesempatan yang sama meraih meraih prestasi optimal. Namun, dalam kenyataan masyarakat, konsep ideal ini membutuhkan tahapan dan sosialisasi, karena masih terdapat sejumlah kendala, terutama kendala budaya yang sulit diselesaikan.
            Salah satu obsesi al-Qur’an ialah terwujudnya keadilan di dalam masyarakat. Keadilan dalam al-Qur’an mencakup segala segi kehidupan umat manusia, baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat. Karena itu al-Qur’an tidak mentolerir segala bentuk penindasan, baik berdasarkan kelompok etnis, warna kulit, suku bangsa, dan kepercayaan, maupun yang berdasarkan jenis kelamin. Jika terdapat suatu hasil pemahaman atau penafsiran yang bersifat menindas atau menyalahi nilai-nilai luhur kemanusiaan, maka hasil pemahaman dan penafsiran tersebut terbuka untuk diperdebatkan.
Islam sebenarnya tidak menempatkan wanita berada didapur terus menerus, namun jika ini dilakukan maka ini adalah sesuatu yang baik, hal ini di nyatakan oleh imam Al-Ghazali bahwa pada dasarnya istri tidak berkewajiban melayani suami dalam hal memasak, mengurus rumah, menyapu, menjahid, dan sebagainya. Akan tetapi jika itu dilakukan oleh istri maka itu merupakan hal yang baik. Sebenarnya suamilah yang berkewajiban untuk memberinya/menyiapkan pakaian yang telah dijahid dengan sempurna, makanan yang telah dimasak secara sempurna. Artinya kedudukan wanita dan pria adalah saling mengisi satu dengan yang lain, tidak ada yang superior. Hanya saja laki-laki bertanggung jawab untuk mendidik istri menjadi lebih baik di hadapan Allah SWT.
Sebenarnya hanyalah permainan kaum feminis saja yang menyatakan bahwa laki-laki superior dibandingkan dengan wanita, agar mereka dapat melakukan hal-hal yang melampaui batas, dengan dalih bahwa wanita dapat hidup tanpa laki-laki, termasuk dalam hal seks, sehingga muncullah fenomena lesbian percintaan sesama jenis, banyaknya fenomena kawin cerai karena sang istri menjadi durhaka terhadap suami, padahal dalam rumah tangga pemimpin keluarga adalah laki-laki, sedangkan dalam hal berpolitik tidak ada larangan dalam Islam untuk berpolitik dan berkarier.
Taqiyuddin al-Nabhani menjelaskan ada tujuh syarat seorang kepala negara atau (Khalifah) dapat di bai’at yaitu muslim, laki-laki, baligh, berakal, adil, merdeka dan mampu. Syarat muslim merupakan syarat mutlak untuk mengangkat pemimpin dalam sebuah negara yang mayaritas penduduk islam, dan dilarangkan mengangkat pimpinan dari kalangan kafir. Hal ini termaktub dalam surat An-Nisa ayat 144 yang berbunyi:

            Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Inginkah kamu mengadakan alasan yang nyata bagi Allah (untuk menyiksamu) ?
Kedua laki-laki, wanita dalam hal ini dilarang menjadi khalifah, imam, ulil amri, atau kepala negara dalam hal ini kepala negara tidak dimaksud Presiden, yang dimaksud disini adalah kepemimpinan yang dapat mengambil keputusan tanpa dimusyawarahkan terlebih dahulu, sedangkan presiden dalam membuat keputusan harus dilakukan dengan bermusyawarah terlebih dahulu terhadap pembantu-pembantunya baik menteri, staff ahli, maupun dengan penasihat pribadinya.
Ketiga baligh, dengan syarat baligh maka pemimpin dibebani oleh hukum, sehingga apa yang di pikulnya atau diamanahi kepada mereka maka akan dapat dipertanggung jawabkan secara hukum, baik hukum dunia, maupun hukum dihadapan Allah.
Keempat berakal, orang yang hilang akalnya dilarang menjadi pemimpin karena akan mengambil keputusan yang tidak tepat, dan kehilangan akal akan membebaskan seseorang dari hukum, sehingga tidak dapat dimintai pertanggung jawabannya. Kelima adil,  yaitu pemimpin yang konsisten dalam menjalani agamanya hal ini termaktub dalam surah An-Nahl ayat 90 yang berbunyi:

            Artinya: “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran”
                Keenam, merdeka terbebas dari perbudakan sehingga dapat mengambil keputusan tanpa interfensi dari tuannya. Dan seorang hamba sahaya dilarang diangkat menjadi pemimpin karena dia tidak memiliki wewenang untuk mengatur orang lain dan bahkan terhadap dirinyapun tidak memiliki wewenang.
            Ketujuh, mampu melaksanakan amanat khilafah, jika tidak mampu menjalankan amanat maka tunggulah hasilnya. Sebagaimana di jelaskan dalam hadist yang diriwayatkan oleh Bukhari ”Jika urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah Kiamat” (HR Bukhari).
            Qardhawi dalam hal ini kembali mempertegas bahwa kepemimpinan kepala negara dimasa sekarang ini kekuasaannya tidak sama dengan seorang ratu atau khalifah di sama lalu yang identik dengan seorang imam dalam shalat. Sehingga kedudukan wanita dan pria dalam hal perpolitikan adalah sejajar karena sama-sama memiliki hak memilih dan hak dipilih. Dengan alasan bahwa wanita dewasa adalah manusia mukallaf (diberi tanggung jawab) secara utuh, yang dituntut untuk beribadah kepada Allah, menegakan agama, dan berdakwah.
Menurut Abu Hanifah seorang perempuan dibolehkan menjadi hakim, tetapi tidak boleh menjadi hakim dalam perkara pidana. Sementara Imam Ath-Thabari dan aliran Dhahiriyah membolehkan seseorang perempuan menjadi hakim dalam semua perkara, sebagaimana mereka membolehkan kaum perempuan untuk menduduki semua jabatan selain puncak kepemimpinan negara.



Bab III
Penutup
Perbedaan laki-laki perempuan tidak cukup hanya dikaji secara biologis tetapi memerlukan pengkajian secara non-biologis. Kajian yang terakhir inilah disebut studi jender, yaitu suatu upaya untuk memahami interpretasi budaya terhadap perbedaan jenis kelamin. Studi ini sangat menarik karena selama ini, analisis perbedaan laki-laki dan perempuan lebih terfokus kepada perbedaan secara fisik-biologis, sehingga kesimpulan yang diperoleh melalui kajian ini menjadi salah satu faktor penyebab timbulnya ketimpangan peran jender di dalam masyarakat.
Al Qur’an secara umum dan dalam banyak ayatnya telah membicarakan relasi gender, hubungan antara laki- laki dan perempuan, hak- hak mereka dalam konsepsi yang rapi, indah dan bersifat adil. Kesetaraan yang telah di akui oleh Al Qur’an itu, bukan berarti harus sama antara laki- laki dan perempuan dalam segala hal. Untuk menjaga kesimbangan alam (sunnatu tadafu’), harus ada sesuatu yang berbeda, yang masing-masing mempunyai fungsi dan tugas tersendiri.
Dalam pandangan Islam perempuan memiliki kedudukan yang sama dibandingkan dengan laki-laki. Dari sudut penciptaan, kemuliaan, dan hak mendapatkan balasan atas amal usahanya perempuan memiliki kesetaraan dengan laki-laki. Sedangkan dalam hal peran perempuan memiliki perbedaan dengan laki-laki. Peran perempuan yang wajib adalah sebagai anggota keluarga yaitu sebagai istri dari suami dan ibu bagi anak-anaknya. Sedangkan peran perempuan sebagai anggota masyarakat dalam urusan muamalah mendapatkan profesi (pekerjaan) dihukumi dengan rukhshah darurat. Meskipun diperbolehkan namun harus selalu mementingkan segi kemaslahatan baik bagi rumah tangga maupun bagi masyarakat. Apabila lebih banyak kemudaratannya bagi keluarga maka profesi di luar rumah harus ditinggalkan mengingat sesuatu yang darurat tidak boleh meninggalkan hal yang wajib.








[1] Dr. Nasaruddin Umar, MA,  Argumen Kesetaraan Jender Perspektif Al-Qur’an, Jakarta, Paramida, 1999, h-33
[2] Ibid
[3]
[4] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-misbah, Pesan Kesan dan Keserasian Al-Qur’an,  Lentera Hati, Jakarta 2002
Kesetaraan Jender Perspektif Al-qur'an. Kesetaraan Jender Perspektif Al-qur'an. Reviewed by IQBAL MAULANA on January 06, 2017 Rating: 5
Powered by Blogger.