BAB I
Pendahuluan
Isu tentang jender
telah menjadi bahasan analisis sosial, menjadi pokok bahasan dalam wacana
perdebatan mengenai perubahan sosial dan juga menjadi topik utama dalam
perbincangan mengenai pembangunan dan perubahan sosial. Bahkan, beberapa waktu
terakhir ini, berbagai tulisan, baik di media massa maupun buku-buku, seminar,
diskusi dan sebagainya banyak membahas tentang protes dan gugatan yang terkait
dengan ketidakadilan dan diskriminasi terhadap kaum perempuan. Ketidakadilan
dan diskriminasi itu terjadi hampir di semua bidang, mulai dari tingkat
internasional, negara, keagamaan, budaya, ekonomi, bahkan sampai tingkatan
rumah tangga.
jender dipersoalkan
karena secara sosial telah melahirkan perbedaan peran, tanggung jawab, hak dan
fungsi serta ruang aktivitas laki-laki dan perempuan dalam masyarakat.
Perbedaan tersebut akhirnya membuat masyarakat cenderung diskriminatif dan
pilih-pilih perlakuan akan akses, partisipasi, serta kontrol dalam hasil pembangunan
laki-laki dan perempuan.
Dari penyiapan
pakaian pun kita sudah dibedakan sejak kita masih bayi. Juga dalam hal mainan,
anak laki-laki misalnya: dia akan diberi mainan mobil-mobilan, kapal-kapalan,
pistol-pistolan, bola dan lain sebagainya. Dan anak perempuan diberi mainan
boneka, alat memasak, dan sebagainya. Ketika menginjak usia remaja perlakuan
diskriminatif lebih ditekankan pada penampilan fisik, aksesoris, dan aktivitas.
Dalam pilihan warna dan motif baju juga ada semacam diskriminasi. Warna pink dan
motif bunga-bunga misalnya hanya “halal” dipakai oleh remaja putri. Aspek
behavioral lebih banyak menjadi sorotan diskriminasi. Seorang laki-laki
lazimnya harus mahir dalam olah raga, keterampilan teknik, elektronika, dan
sebagainya. Sebaliknya perempuan harus bisa memasak, menjahit, dan mengetik
misalnya. Bahkan dalam olahraga pun tampak hal-hal yang mengalami diskriminasi
tersendiri. Hingga sampai pada dewasa ini Perbedaan laki-laki dan perempuan masih
menyimpan beberapa masalah, baik dari segi substansi kejadian maupun peran yang
diemban dalam masyarakat. Perbedaan anatomi biologis antara keduanya cukup
jelas. Akan tetapi efek yang timbul akibat perbedaan itu menimbulkan
perdebatan, karena ternyata perbedaan jenis kelamin secara biologis (seks)
melahirkan seperangkat konsep budaya, Interpretasi budaya terhadap perbedaan
jenis kelamin inilah yang disebut gender.
Bab
II
Pembahasan
A. Pengertian Jender
Kata “jender” berasal dari bahasa inggris, gender,
berarti “jenis kelamin”.[1] Dalam Webster’s New World Dictionary, jender
diartikan sebagai “perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan dilihat
dari segi nilai dan tingkah laku”.
Di dalam Women’s Studies Encyclopedia dijelaskan bahwa
jender adalah suatu konsep kultural yang berupaya membuat perbedaan
(dintinction) dalam hal peran, prilaku, mentalitas, dan karakteristik,
emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat`[2]
Hillary M. Lips dalam bukunya yang
terkenal Sex & Gender : an Introduction mengartikan jender sebagai harapan-harapan
budaya terhadap laki-laki dan perempuan (cultural expections for women and
men). Pendapat ini sejalan dengan pendapat umumnya kaum feminis seperti Linda
L. Lindsey, yang menganggap semua ketetapan masyarakat perihal penentuan
seseorang sebagai laki-laki atau perempuan adalah termasuk bidang kajian jender
(What a given society defines and masculine or feminin is a component of
gender)
H.T wilson dalam Sex and Gender
mengartikan jender sebagai suatu dasar untuk menentukan sumbangan antara laki-laki
dan perempuan pada kebudayaan dan kehidupan kolektif yang sebagai akibatnya
mereka menjadi laki-laki dan perempuan. Elaine Showalter mengartikan jender
lebih dari sekedar perbedaan laki-laki dan perempuan dilihat dari kontruksi
sosial-budaya. Ia menekankan sebagai konsep analisis (an analityc concept) yang
dapat digunakan untuk menjelaskan sesuatu.
Meskipun kata gender belum masuk
dalam perbendaharaan kamus Besar Bahasa Indonesia, istilah sudah lazim
digunakan , khususnya di Kantor Menteri Negara Urusan Peranan Wanita dan ejaan
“jender”. Jender diartikan sebagai “interpretasi mental dan kultural terhadap
perbedaan kelamin yakni laki-laki dan perempuan. Jender biasanya dipergunakan
untuk menunjukkan pembagian kerja yang dianggap tepat bagi laki-laki dan perempuan.
Dari berbagai definisi di atas dapat disimpulkan bahwa
jender adalah suatu konsep yang digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan
laki-laki dan perempuan dilihat dari segi sosial-budaya. Jender dalam arti ini
mendefinisikan laki-laki dan perempuan dari sudut non biologis.
Setelah kita telaahi beberapa ungkapan para tokoh terkait
Jender. Dapat kita kerucutkan bahwa jender adalah suatu konsep yang menyebabkan
perbedaan dan perselisihan antara kedua jenis kelamin laki-laki dan perempuan
sekaligus menjadi tunas munculnya kata ketidakadilan dan diskriminasi. Lantas
bagaimana pandangan al-Qur’an terhadap jender?? bagaimana al-Qur’an memberi
pemahaman mengenai jender ?? dan apa sajakah bentuk kesetaraan yang disampaikan
oleh al-Qur’an terkait hubungan kedua jenis kelamin, laki-laki dan perempuan??
B. Kesetaraan Jender
Dalam Al-Qur’an
Al Qur’an secara umum dan dalam
banyak ayatnya telah membicarakan relasi Jender, Bahkan tidak hanya soal kesetaraan jender,
hubungan laki-laki dan perempuan dalam masyarakat, tetapi lebih dari itu,
al-Qur’an juga mengatur keserasian pola relasi antara mikrokosmos (manusia)
makrokosmos (alam), dan Tuhan. Al Qur’an yang diturunkan sebagai
petunjuk manusia, tentunya pembicaraannya tidaklah terlalu jauh dengan keadaan
dan kondisi lingkungan dan masyarakat pada waktu itu. Seperti apa yang
disebutkan di dalam QS. Al- Nisa, yang memandang perempuan sebagai makhluk
yang mulia dan harus di hormati, yang pada satu waktu masyarakat Arab
sangat tidak menghiraukan nasib mereka. Surat Al Nisa’ ini benar- benar
memperhatikan kaum lemah, yang di wakili oleh anak- anak yatim, orang-orang
yang lemah akalnya, dan kaum perempuan. Sebelum diturunkan surat Al- Nisa ini,
telah turun dua surat yang sama-sama membicarakan wanita, yaitu surat
Al-Mumtahanah dan surat Al-Ahzab. Namun pembahasannya belum final, hingga
diturunkan surat al-Nisa’ ini. Oleh karenanya, surat ini disebut dengan surat
Al-Nisa’ al-Kubro, sedang surat lain yang membicarakan perempuan juga , seperti
surat al-Tholak, disebut surat al-Nisa’ al Sughro. Surat Al Nisa’ ini benar-
benar memperhatikan kaum lemah, yang di wakili oleh anak- anak yatim,
orang-orang yang lemah akalnya, dan kaum perempuan.
Maka, pada ayat pertama surat
al-Nisa’ kita dapatkan, bahwa Allah telah menyamakan kedudukan laki-laki dan
perempuan sebagai hamba dan makhluk Allah, yang masing- masing jika beramal
sholeh, pasti akan di beri pahala sesuai dengan amalnya. Kedua-duanya tercipta
dari jiwa yang satu (nafsun wahidah), yang mengisyaratkan bahwa
tidak ada perbedaan antara keduanya. Semuanya di bawah pengawasan Allah serta
mempunyai kewajiban untuk bertaqwa kepada-Nya (ittaqu robbakum).
Ada beberapa variabel yang dapat
digunakan sebagai standar dalam menganalisa kadar atau ukuran Kesetaraan
Jender, antaranya yaitu :
1. Laki-laki
dan perempuan sama-sama sebagai hamba
Salah satu tujuan penciptaan manusia adalah untuk menyembah
kepada tuhan, sebagaimana disebutkan dalam Q., s. Al-Zariyat/51: 56 :
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ
وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan
supaya mereka menyembah-Ku.
Dalam kapasitas manusia sebagai hamba, tidak ada
perbedaan antara laiki-laki dan perempuan. Keduanya mempunyai potensi dan
peluang yang sama untuk menjadi hamba ideal. Hamba ideal dalam al-Quran biasa
diistilahkan dengan orang-orang yang bertaqwa (muttaqun), dan untuk mencapai
derajat muttaqun ini tidak dikenal adanya perbedaan jenis kelamin, suku, bangsa,
atau kelompok etnis tertentu. Al-Qur’an menegaskan bahwa hamba yang paling
ideal ialah para muttaqun, sebagaimana disebutkan dalam Q., s al-Hujarat/49:13:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا
خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَىٰ وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ
لِتَعَارَفُوا ۚ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ
عَلِيمٌ خَبِيرٌ
Hai manusia, sesungguhnya Kami
menciptakan kalian seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan
kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kalian saling mengenal.
Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah ialah orang
yang paling bertaqwa di antara kalian. Sesungguhnya Allah maha mengetahui lagi
maha mengenal.
Kekhususan-kekhususan
yang diperuntukkan kepada laki-laki, seperti seorang suami setingkat lebih
tinggi di atas isteri, laki-laki sebagai pelindung bagi perempuan, laki-laki
memperoleh warisan lebih banyak daripada perempuan, kemudian laki-laki
diperkenankan berpoligami bagi mereka yang memenuhi syarat. Akan tetapi ini
semua tidak menyebabkan laki-laki menjadi hamba-hamba yang utama. Kelebihan
tersebut diberikan kepada laki-laki dalam kapasitasnya sebagai anggota
masyarakat yang memiliki peran publik dan sosial lebih ketika ayat-ayat
al-Qur’an diturunkan.
Dalam kapasitas sebagai hamba, laki-laki dan perempuan
masing-masing akan mendapatkan penghargaan dari tuhan sesuai dengan kadar
pengabdiannya, sebagaimana disebutkan dalam Q,. S. An-Nahlu/16:97 :
مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki
maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan kami berikan
kepadanya kehidupan yang baik dan sesuangguhnya akan kami beri balasan kepada
mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.
2. Laki-laki
dan Perempuan Sebagai khalifah di Bumi
Maksud
dan tujuan penciptaan manusia di muka bumi ini adalah, di samping untuk menjadi
hamba (‘abid) yang tunduk dan patuh serta mengabdi kepada Allah swt., juga
untuk menjadi khalifah di bumi (khalifa fi al-ardl) kapasitas manusia sebagai
khalifah di bumi ditegaskan di dalam Q,. S, al-An’am/6: 165 :
وَهُوَ الَّذِي جَعَلَكُمْ خَلَائِفَ الْأَرْضِ وَرَفَعَ بَعْضَكُمْ فَوْقَ بَعْضٍ دَرَجَاتٍ لِيَبْلُوَكُمْ فِي مَا آتَاكُمْ ۗ إِنَّ رَبَّكَ سَرِيعُ الْعِقَابِ وَإِنَّهُ لَغَفُورٌ رَحِيمٌ
Dan dialah yang menjadikan kalian
penguasa-penguasa di bumi dan Dia meninggikan sebahagian kalian atas sebahagian
(yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya
kepada kalian. Sesungguhnya tuhan kalian amat cepat siksaan-Nya, dan
sesungguhnya dia Maha Pengampun lagi Maha Penyanyang.
Dalam ayat lain disebutkan dalam
Q,.s. al-Baqarah/2 : 30 :
وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ
لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً ۖ قَالُوا أَتَجْعَلُ
فِيهَا مَنْ يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاءَ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ ۖ قَالَ
إِنِّي أَعْلَمُ مَا لَا تَعْلَمُونَ
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman
kepada para malaikat : “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di
muka bumi”. Mereka berkata : “Mengapa engkau hendak menjadikan (khalifah) di
muka bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah,
padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau? Tuhan berfirman :
“Sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak kalian ketahui”
Kata Khalifah dalam kedua ayat di atas tidak menunjukkan
kepada salah satu jenis kelamin atau kelompok etnis tertentu. Laki-laki dan
perempuan mempunyai fungsi yang sama sebagai khalifah, yang akan mempertanggung
jawabkan kekhalifahannya di bumi, sebagai mana halnya mereka harus bertanggung
jawab sebagai hamba tuhan.
3. Laki-laki
dan Perempuan Menerima Perjanjian Primordial
Laki-laki dan perempuan sama-sama mengemban amanah dan
menerima perjanjian primordial dengan tuhan. Seperti diketahui, menjelang
seorang anak manusia keluar dari rahim ibunya, ia terlebih dahulu harus
menerima perjanjian dengan Tuhannya, sebagaimana disebutkan dalam Q., s.
Al-A’raf/7:172 :
وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِنْ
بَنِي آدَمَ مِنْ ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَى أَنْفُسِهِمْ
أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ قَالُوا بَلَى شَهِدْنَا أَنْ تَقُولُوا يَوْمَ الْقِيَامَةِ
إِنَّا كُنَّا عَنْ هَذَا غَافِلِينَ
Dan (ingatlah),
ketika tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak adam dari sulbi mereka dan
Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman) : “Bukankah
aku ini tuhanmu?” Mereka menjawab : “Betul (Engkau Tuhan Kami)”, kami menjadi
saksi”. (Kami lakukan yang “Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang
yang lengah terhadap ini (Keesaan Tuhan)”
Menurut Fakhr al-Razi, tidak ada
seorangpun anak manusia lahir dimuka bumi ini yang tidak berikrar akan Keberadaan
Tuhan, dan ikrar mereka disaksikan oleh para malaikat. Tidak ada seorang pun
yang mengatakan “tidak”.[3] Dalam islam, tanggung
jawab individual dan kemandirian berlangsung sejak dini, yaitu semenjak dalam
kandungan. Sejak awal sejarah manusia dalam islam tidak dikenal adanya
diskriminasi jenis kelamin. Laki-laki dan perempuan sama-sama menyatakan ikrar
ketuhanan yang sama.
Kemudian Allah SWT pula telah memuliakan
seluruh Acak Cucu Adam tersebut, laki-laki dan perempuan, sebagaimana
dijelaskan dalam Q,. s. Al-Isra’/17:70 :
وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِي آدَمَ وَحَمَلْنَاهُمْ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَرَزَقْنَاهُمْ مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَفَضَّلْنَاهُمْ عَلَىٰ كَثِيرٍ مِمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيلًا
Dan sesungguhnya
telah kami muliakan anak-anak adam, kami angkut mereka di daratan dan lautan,
kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan kami lebihkan mereka dengan
kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah kami ciptakan.
Kata بَنِي
آدَمَ dalam ayat ini menunjukkan kepada seluruh anak-anak Adam, tanpa
membedakan jenis kelamin, suku bangsa, dan warna kulit. Dalam al-Qur’an tidak
pernah ditemukan satu ayat pun yang menunjukkan keutamaan seseorang karena
faktor jenis kelamin atau karena keturunan suku bangsa tertentu. Kemandirian
dan otonomi perempuan dalam tradisi islam sejak awal islam terlihat begitu kuat. Perjanjian, bai’at, sumpah, dan
nazar yang dilakukan oleh perempuan mengikat dengan sendirinya sebagaimana
halnya laki-laki. Dalam tradisi Yahudi-Kristen, seorang perempuan hidup di
dalam pangkuan Ayah, maka perjanjian, sumpah, dan nazarnya dapat digugurkan
oleh ayah yang bersangkutan, sebagiamana disebutkan dalam kitab Bilangan 30:5:
Tetapi jika Ayahnya melarang dia (anak
perempuan) pada waktu mendengar itu (nazar dan janji perempuan kepada Tuhan)
maka segala nazar dan janji yang mengikat diri anaknya itu tidak akan berlaku;
dan Tuhan akan mengampuni perempuan itu, sebab ayahnya telah melarangnya.
Sebaliknya jika seorang perempuan hidup di
dalam pangkuan suaminya, maka perjanjian, sumpah, dan nazar seorang perempuan
dapat digugurkan oleh suami, sebagaimana disebutkan di dalam Kitab Bilangan
30:8:
Tetapi apabila suaminya itu, pada waktu
mendengarnya, melarang dia (isterinya), maka ia telah membatalkan nazar yang
telah menjadi hutang isterinya dan janji yang diucapkan begitu saja dan yang
mengikat isterinya.
Di dalam tradisi islam, perempuan
mukallaf dapat melakukan berbagai perjanjian, sumpah, nazar, baik kepada
sesama manusia maupun kepada Tuhan. Tidak ada suatu kekuatan yang dapat
menggugurkan janji, sumpah, atau mereka sebagaimana sitegaskan dalam Q., s.
al-Maidah/5:89:
لَا يُؤَاخِذُكُمُ اللَّهُ
بِاللَّغْوِ فِي أَيْمَانِكُمْ وَلَٰكِنْ يُؤَاخِذُكُمْ بِمَا عَقَّدْتُمُ
الْأَيْمَانَ ۖ فَكَفَّارَتُهُ إِطْعَامُ عَشَرَةِ مَسَاكِينَ مِنْ أَوْسَطِ مَا
تُطْعِمُونَ أَهْلِيكُمْ أَوْ كِسْوَتُهُمْ أَوْ تَحْرِيرُ رَقَبَةٍ ۖ فَمَنْ لَمْ
يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ ۚ ذَٰلِكَ كَفَّارَةُ أَيْمَانِكُمْ إِذَا
حَلَفْتُمْ ۚ وَاحْفَظُوا أَيْمَانَكُمْ ۚ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ
آيَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
Allah tidak
menghukum kalian disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk
bersumpah), tetapi Dia menghukum kalian disebabkan sumpah-sumpah yang kalian
sengaja, maka kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh
orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kalian berikan kepada keluargamu,
atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak. Barangsiapa
yang tidak sanggup melakukan yang
demikian, maka kaffaratnya puasa selama tiga hari. Yang demikian itu adalah kaffarat
sumpah-sumpahmu bila kalian bersumpah (dan menerangkan kepadamu hukum-hukum-nya
agar kalian bersyukur (kepada-Nya).
Pernayataan ayat ini jelas sekali
berbeda dengan pernyataan alkitab yang mengisyaratkan subordinasi perempuan
dari laki-laki, yakni anak perempuan dalam subordinasi dari ayahnya dan isteri
subordinasi dari suaminya. Dalam tradisi islam, ayah dan suami juga mempunyai
otoritas khusus tetapi tidak sampai mencampuri urusan komitmen pribadi seorang perempuan denganTuhannya.
Bahkan dalam urusan-urusan keduniaan pun perempuan memperoleh hak-hak
sebagaimana halnya yang diperoleh oleh laki-laki. Dalam suatu hadits Nabi
Muhammad SAW di datangi oleh sekelompok perempuan untuk menyatakan dukungan
politik (bai’ah), maka peristiwa langka ini menyebabkan turunnya Q,, s.
al-Mumtahanah/60:12:
4. Adam dan Hawa Terlibat secara Aktif dalam Drama Kosmis
Semua ayat yang meceritakan tentng drama
kosmis, yakni cerita teandang keadaan Adam dan pasangannya di surga sampai
keluar ke bumi, selalu menekankan kedua belah pihak secara aktif dengan
menggunakan kata ganti untuk dua orang (
هما), yakni kata ganti untuk Adam dan hawa,
Seperti dapat dapat dilihat dalam beberapa kasus berikut :
a. Keduanya
diciptakan di surga dan memanfaatkan fasilitas surga disebutkan dalam Q., s.
al-Baqarah/2:35:
وقُلْنَا يَا آدَمُ اسْكُنْ أَنْتَ وَزَوْجُكَ الْجَنَّةَ وَكُلا مِنْهَا رَغَداً حَيْثُ شِئْتُمَا وَلا تَقْرَبَا هَذِهِ الشَّجَرَةَ فَتَكُونَا مِنَ الظَّالِمِينَ
Dan kami berfirman :”Hai adam
diamilah oleh kamu dan isterimu surga ini, dan makanlah makanan-makanannya yang
banyak lagi baik di mana saja yang kamu sukai, dan janganlah kamu dekati pohon
ini, yang menyebabkan kamu termasuk orang-orang yang zalim.
b.
Keduanya mendapat kualiatas
godaanyang sama dari syaitan disebutkan dalam Q,. S. al’A’raf/7:20:
فَوَسْوَسَ لَهُمَا الشَّيْطَانُ
لِيُبْدِيَ لَهُمَا مَا وُورِيَ عَنْهُمَا مِنْ سَوْآتِهِمَا وَقَالَ مَا
نَهَاكُمَا رَبُّكُمَا عَنْ هَٰذِهِ الشَّجَرَةِ إِلَّا أَنْ تَكُونَا مَلَكَيْنِ
أَوْ تَكُونَا مِنَ الْخَالِدِين
Maka syaitan
membisikkan pikiran jahat kepada keduanya untuk menampakkan kepada keduanya apa
yang tertutup dari mereka yaitu auratnya dan syaitan berkata: "Tuhan kamu
tidak melarangmu dan mendekati pohon ini, melainkan supaya kamu berdua tidak
menjadi malaikat atau tidak menjadi orang-orang yang kekal (dalam surga)".
c.
Sama-sama memakan buah
khuldi dan keduanya menerima akibat jatuh ke bumi, disebutkan di dalam Q,. S.
al-A’raf/7:22:
فَدَلاهُمَا بِغُرُورٍ
فَلَمَّا ذَاقَا الشَّجَرَةَ بَدَتْ لَهُمَا سَوْآتُهُمَا وَطَفِقَا يَخْصِفَانِ
عَلَيْهِمَا مِنْ وَرَقِ الْجَنَّةِ وَنَادَاهُمَا رَبُّهُمَا أَلَمْ أَنْهَكُمَا
عَنْ تِلْكُمَا الشَّجَرَةِ وَأَقُلْ لَكُمَا إِنَّ الشَّيْطَانَ لَكُمَا عَدُوٌّ
مُبِينٌ
maka setan membujuk keduanya (untuk memakan buah itu) dengan tipu daya. Tatkala keduanya telah merasai buah kayu itu, nampaklah bagi keduanya aurat-auratnya, dan mulailah keduanya menutupinya dengan daun-daun surga. Kemudian Tuhan mereka menyeru mereka: "Bukankah Aku telah melarang kamu berdua dari pohon kayu itu dan Aku katakan kepadamu: "Sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagi kamu berdua?"
maka setan membujuk keduanya (untuk memakan buah itu) dengan tipu daya. Tatkala keduanya telah merasai buah kayu itu, nampaklah bagi keduanya aurat-auratnya, dan mulailah keduanya menutupinya dengan daun-daun surga. Kemudian Tuhan mereka menyeru mereka: "Bukankah Aku telah melarang kamu berdua dari pohon kayu itu dan Aku katakan kepadamu: "Sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagi kamu berdua?"
d. Sama-sama memohon ampun dan sama-sama diampuni Tuhan, disebutkan dalam Q,.
s. al-A’raf/7:23:
قَالَا رَبَّنَا ظَلَمْنَا
أَنْفُسَنَا وَإِنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُونَنَّ مِنَ
الْخَاسِرِينَ
Keduanya
berkata: "Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika
Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah
kami termasuk orang-orang yang merugi.
e. Setelah di
bumi keduanya mengembangkan keturunan dan saling melengkapi dan saling
membutuhkan, disebutkan dalam Q,. s. al-Baqarah/2:187:
أُحِلَّ
لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَىٰ نِسَائِكُمْ ۚ هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ
وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ ۗ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُونَ
أَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ ۖ فَالْآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا
مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ ۚ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَكُمُ
الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ۖ ثُمَّ
أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ ۚ وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ
عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ ۗ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلَا تَقْرَبُوهَا ۗ
كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ
Dihalalkan
bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu;
mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka. Allah
mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah
mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan
ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang
bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah
puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu,
sedang kamu beri'tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu
mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia,
supaya mereka bertakwa.
5. Laki-laki dan Perempuan Berpotensi Meraih Prestasi
Peluang
untuk meraih prestasi maksimum tidak ada perbedaan antara antara laki-laki dan
perempuan, ditegaskan secara khusus di dalam tiga ayat, yaitu:
a. Q,. s. Ali
Imran/3:195:
فَاسْتَجَابَ
لَهُمْ رَبُّهُمْ أَنِّي لَا أُضِيعُ عَمَلَ عَامِلٍ مِنْكُمْ مِنْ ذَكَرٍ أَوْ
أُنْثَىٰ ۖ بَعْضُكُمْ مِنْ بَعْضٍ ۖ فَالَّذِينَ هَاجَرُوا وَأُخْرِجُوا مِنْ
دِيَارِهِمْ وَأُوذُوا فِي سَبِيلِي وَقَاتَلُوا وَقُتِلُوا لَأُكَفِّرَنَّ
عَنْهُمْ سَيِّئَاتِهِمْ وَلَأُدْخِلَنَّهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا
الْأَنْهَارُ ثَوَابًا مِنْ عِنْدِ اللَّهِ ۗ وَاللَّهُ عِنْدَهُ حُسْنُ
الثَّوَابِ
mereka
memperkenankan permohonannya (dengan berfirman): "Sesungguhnya Aku tidak
menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki
atau perempuan, (karena) sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain.
Maka orang-orang yang berhijrah, yang diusir dari kampung halamannya, yang
disakiti pada jalan-Ku, yang berperang dan yang dibunuh, pastilah akan
Ku-hapuskan kesalahan-kesalahan mereka dan pastilah Aku masukkan mereka ke
dalam surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya, sebagai pahala di sisi
Allah. Dan Allah pada sisi-Nya pahala yang baik".
b. Q,. s.
al-Nisa’/4:124:
وَمَنْ
يَعْمَلْ مِنَ الصَّالِحَاتِ مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَىٰ وَهُوَ مُؤْمِنٌ
فَأُولَٰئِكَ يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ وَلَا يُظْلَمُونَ نَقِيرًا
Barangsiapa yang mengerjakan amal-amal saleh, baik
laki-laki maupun wanita sedang ia orang yang beriman, maka mereka itu masuk ke
dalam surga dan mereka tidak dianiaya walau sedikitpun[4]
c. Q,. s.
an-Nahlu/16:97:
مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ
ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَىٰ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً ۖ
وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
Barangsiapa
yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan
beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan
sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik
dari apa yang telah mereka kerjakan.
Ayat-ayat di atas mengisyaratkan konsep kesetaraan
jender yang ideal yang memberikan ketegasan bahwa prestasi individual, baik
dalam bidang spiritual maupun urusan karier profesional, tidak mesti dimonopoli
oleh salah satu jenis kelamin. Laki-laki ddan perempuan memperoleh kesempatan
yang sama meraih meraih prestasi optimal. Namun, dalam kenyataan masyarakat,
konsep ideal ini membutuhkan tahapan dan sosialisasi, karena masih terdapat
sejumlah kendala, terutama kendala budaya yang sulit diselesaikan.
Salah satu obsesi al-Qur’an ialah
terwujudnya keadilan di dalam masyarakat. Keadilan dalam al-Qur’an mencakup
segala segi kehidupan umat manusia, baik sebagai individu maupun sebagai
anggota masyarakat. Karena itu al-Qur’an tidak mentolerir segala bentuk penindasan,
baik berdasarkan kelompok etnis, warna kulit, suku bangsa, dan kepercayaan,
maupun yang berdasarkan jenis kelamin. Jika terdapat suatu hasil pemahaman atau
penafsiran yang bersifat menindas atau menyalahi nilai-nilai luhur kemanusiaan,
maka hasil pemahaman dan penafsiran tersebut terbuka untuk diperdebatkan.
Islam
sebenarnya tidak menempatkan wanita berada didapur terus menerus, namun jika
ini dilakukan maka ini adalah sesuatu yang baik, hal ini di nyatakan oleh imam
Al-Ghazali bahwa pada dasarnya istri tidak berkewajiban melayani suami dalam
hal memasak, mengurus rumah, menyapu, menjahid, dan sebagainya. Akan tetapi
jika itu dilakukan oleh istri maka itu merupakan hal yang baik. Sebenarnya
suamilah yang berkewajiban untuk memberinya/menyiapkan pakaian yang telah
dijahid dengan sempurna, makanan yang telah dimasak secara sempurna. Artinya
kedudukan wanita dan pria adalah saling mengisi satu dengan yang lain, tidak
ada yang superior. Hanya saja laki-laki bertanggung jawab untuk mendidik istri
menjadi lebih baik di hadapan Allah SWT.
Sebenarnya
hanyalah permainan kaum feminis saja yang menyatakan bahwa laki-laki superior
dibandingkan dengan wanita, agar mereka dapat melakukan hal-hal yang melampaui
batas, dengan dalih bahwa wanita dapat hidup tanpa laki-laki, termasuk dalam
hal seks, sehingga muncullah fenomena lesbian percintaan sesama jenis,
banyaknya fenomena kawin cerai karena sang istri menjadi durhaka terhadap
suami, padahal dalam rumah tangga pemimpin keluarga adalah laki-laki, sedangkan
dalam hal berpolitik tidak ada larangan dalam Islam untuk berpolitik dan
berkarier.
Taqiyuddin
al-Nabhani menjelaskan ada tujuh syarat seorang kepala negara atau (Khalifah)
dapat di bai’at yaitu muslim, laki-laki, baligh, berakal, adil, merdeka dan
mampu. Syarat muslim merupakan syarat mutlak untuk mengangkat
pemimpin dalam sebuah negara yang mayaritas penduduk islam, dan dilarangkan
mengangkat pimpinan dari kalangan kafir. Hal ini termaktub dalam surat An-Nisa
ayat 144 yang berbunyi:
Artinya: “Hai orang-orang
yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan
meninggalkan orang-orang mukmin. Inginkah kamu mengadakan alasan yang nyata
bagi Allah (untuk menyiksamu) ?
Kedua
laki-laki, wanita dalam hal ini dilarang menjadi khalifah, imam, ulil amri,
atau kepala negara dalam hal ini kepala negara tidak dimaksud Presiden, yang
dimaksud disini adalah kepemimpinan yang dapat mengambil keputusan tanpa
dimusyawarahkan terlebih dahulu, sedangkan presiden dalam membuat keputusan
harus dilakukan dengan bermusyawarah terlebih dahulu terhadap
pembantu-pembantunya baik menteri, staff ahli, maupun dengan penasihat
pribadinya.
Ketiga baligh,
dengan syarat baligh maka pemimpin dibebani oleh hukum, sehingga apa yang di
pikulnya atau diamanahi kepada mereka maka akan dapat dipertanggung jawabkan
secara hukum, baik hukum dunia, maupun hukum dihadapan Allah.
Keempat
berakal, orang yang hilang akalnya dilarang menjadi pemimpin karena akan
mengambil keputusan yang tidak tepat, dan kehilangan akal akan membebaskan seseorang
dari hukum, sehingga tidak dapat dimintai pertanggung jawabannya. Kelima
adil, yaitu pemimpin yang konsisten dalam menjalani agamanya hal ini
termaktub dalam surah An-Nahl ayat 90 yang berbunyi:
Artinya: “Sesungguhnya Allah
menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum
kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan.
dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran”
Keenam, merdeka terbebas dari perbudakan sehingga dapat mengambil keputusan
tanpa interfensi dari tuannya. Dan seorang hamba sahaya dilarang diangkat
menjadi pemimpin karena dia tidak memiliki wewenang untuk mengatur orang lain
dan bahkan terhadap dirinyapun tidak memiliki wewenang.
Ketujuh, mampu melaksanakan amanat khilafah, jika tidak mampu menjalankan
amanat maka tunggulah hasilnya. Sebagaimana di jelaskan dalam hadist yang
diriwayatkan oleh Bukhari ”Jika urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya,
maka tunggulah Kiamat” (HR Bukhari).
Qardhawi dalam hal ini kembali mempertegas bahwa kepemimpinan kepala negara
dimasa sekarang ini kekuasaannya tidak sama dengan seorang ratu atau khalifah
di sama lalu yang identik dengan seorang imam dalam shalat. Sehingga kedudukan
wanita dan pria dalam hal perpolitikan adalah sejajar karena sama-sama memiliki
hak memilih dan hak dipilih. Dengan alasan bahwa wanita dewasa adalah manusia
mukallaf (diberi tanggung jawab) secara utuh, yang dituntut untuk beribadah
kepada Allah, menegakan agama, dan berdakwah.
Menurut Abu
Hanifah seorang perempuan dibolehkan menjadi hakim, tetapi tidak boleh menjadi
hakim dalam perkara pidana. Sementara Imam Ath-Thabari dan aliran Dhahiriyah
membolehkan seseorang perempuan menjadi hakim dalam semua perkara, sebagaimana
mereka membolehkan kaum perempuan untuk menduduki semua jabatan selain puncak
kepemimpinan negara.
Bab
III
Penutup
Perbedaan laki-laki
perempuan tidak cukup hanya dikaji secara biologis tetapi memerlukan pengkajian
secara non-biologis. Kajian yang terakhir inilah disebut studi jender, yaitu
suatu upaya untuk memahami interpretasi budaya terhadap perbedaan jenis
kelamin. Studi ini sangat menarik karena selama ini, analisis perbedaan
laki-laki dan perempuan lebih terfokus kepada perbedaan secara fisik-biologis,
sehingga kesimpulan yang diperoleh melalui kajian ini menjadi salah satu faktor
penyebab timbulnya ketimpangan peran jender di dalam masyarakat.
Al Qur’an
secara umum dan dalam banyak ayatnya telah membicarakan relasi gender,
hubungan antara laki- laki dan perempuan, hak- hak mereka dalam konsepsi yang
rapi, indah dan bersifat adil. Kesetaraan yang telah di akui oleh Al Qur’an
itu, bukan berarti harus sama antara laki- laki dan perempuan dalam segala hal.
Untuk menjaga kesimbangan alam (sunnatu tadafu’), harus ada sesuatu yang
berbeda, yang masing-masing mempunyai fungsi dan tugas tersendiri.
Dalam pandangan
Islam perempuan memiliki kedudukan yang sama dibandingkan
dengan laki-laki. Dari sudut penciptaan, kemuliaan, dan hak mendapatkan balasan
atas amal usahanya perempuan memiliki kesetaraan dengan laki-laki. Sedangkan
dalam hal peran perempuan memiliki perbedaan dengan laki-laki. Peran perempuan
yang wajib adalah sebagai anggota keluarga yaitu sebagai istri dari suami dan
ibu bagi anak-anaknya. Sedangkan peran perempuan sebagai anggota masyarakat
dalam urusan muamalah mendapatkan profesi (pekerjaan) dihukumi dengan rukhshah
darurat. Meskipun diperbolehkan namun harus selalu mementingkan segi
kemaslahatan baik bagi rumah tangga maupun bagi masyarakat. Apabila lebih
banyak kemudaratannya bagi keluarga maka profesi di luar rumah harus
ditinggalkan mengingat sesuatu yang darurat tidak boleh meninggalkan hal yang
wajib.
Kesetaraan Jender Perspektif Al-qur'an.
Reviewed by IQBAL MAULANA
on
January 06, 2017
Rating:
No comments: